Lukisan Pangeran Antasari menurut Perda Kalsel
Pemerintah Republik
Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
06/TK/Tahun 1968 tanggal 27 Maret 1968 menganugerahi Pangeran Antasari gelar
Pahlawan Kemerdekaan.
Pangeran Antasari lahir dalam tahun 1809, ayahnya bernama Pangeran Mas’ud dan
ibunya bernama Gusti Hadijah puteri Sultan Sulaiman. Ia adalah keluarga
Kesultanan Banjarmasin, tetapi hidup dan dibesarkan di luar lingkungan istana,
yakni di Antasan Senor, Martapura. Kericuhan-kericuhan yang terjadi khususnya
dalam kalangan penguasa kesultanan, menjadikan cicit dari Sultan Aminullah ini
tersisih, walaupun ia sebenarnya pewaris pula atas tahta Kesultanan Banjar.
Kericuhan terjadi ketika Sultan Aminullah wafat dalam tahun1761. Ia
meninggalkan tiga orang putera yang masih kecil, dan karena itu saudara Sultan
Aminullah, yang bernama Pangeran Natanegara diangkat menjadi wali. Dua orang
putera Sultan Amunullah meninggal, dan yang seorang lagi yaitu Pangeran Amir
pergi ke Pasir. Sesudah itu Pangeran Natannegara menubatkan diri menjadi Sultan
Sulaiman Saidullah.
Tahun 1787 Pangeran Amir melancarkan pemberontakan untuk mengambil tahtanya
kembali dengan kekuatan 3000 orang Bugis. Sultan Sulaiman Saidullah untuk
mengatasinya meminta bantuan Belanda. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten
Hoffman berhasil mematahkan perlawanan Pangeran Amir. Dalam suatu pertempuran
pada tanggal 14 Mei 1787 Pangeran Amir tertangkap, dan bulan Juni ia dikirim ke
Batavia untuk selanjutnya di buang ke Ceylon (sekarang Srilangka). Salah
seorang puteranya bernama Pangeran Mas’ud, yaitu ayah dari Pangeran Antasari.
Belanda menarik keuntungan dari kericuhan itu. Sebagai imbalan jasa memadamkan
“pemberontakan” Pangeran Amir, maka ditandatanganilah antara pihak Belanda dan
penguasa Kesultanan Banjar sebuah tractaat dan Acta van Afstand pada tanggal 13
Agustus 1787. Dengan demikian berarti Sultan Sulaiman Saidullah terpaksa
mengurangi kekuasaan, mengurangi kedaulatan Kesultanan Banjar. Ia dan
keturunannya masih berhak menyandang gelar-gelar sultan dan memerintah wilayah
kesultanan, tetapi hanya sebagai pinjaman (vazal) dari Belanda.
Kericuhan terjadi lagi dalam masa pemerintahan Sultan Adam Alwasyiqubillah
putera Sultan Sulaiman. Selagi masih bertahta, ia mengangkat anaknya , Pangeran
Abdurrahman , sebagai Sultan Muda atau Putera Mahkota. Pada tahun 1852 Sultan
Muda Abdurrahman meninggal dunia, yang meninggalkan dua orang anak, yaitu
Pangeran Hidayatullah anak dari perkawinan dengan Ratu Siti, dan Pangeran Tamjidillah
anak dari perkawinan dengan Nyai Aminah. Keduanya merasa berhak atas tahta
kesultanan. Di samping itu ada lagi pihak ketiga yang juga merasa berhak, yaitu
Prabu Anom, putera Sultan Adam Alwasyiqubillah, adik Pangeran Abdurrahman.
Sebenarnya Pangeran Hidayatullah yang paling berhak atas tahta kesultanan.
Sekali lagi Belanda ikut campur tangan. Mereka menggunakan sebagai alasan
campur tangannya, karena investasinya yng sudah ditanamkan dalam pertambangan
batu bara “Oranye Nassau” di Pengaron, dan “Julia Hermina” di Banyu Ireng.
Kedua tambang ini mendatangkan hasil yang cukup banyak. Karena itu Belanda
memerlukan sultan yang dapat mereka kendalikan.
Sultan Adam Alwasyiqubillah meninggal dunia dalam tahun1857. Belanda lalu
mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai penggantinya, sedangkan Pangeran
Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi. Para bangsawan, ulama, dan rakyat
tidak menyukai terhadap pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan.
Keresahan rakyat tampak jelas dengan timbulnya perlawanan di daerah pedalaman,
yaitu:
Di Banua Lima (Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua) dipimpin oleh
Tumenggung Jalil.
Di Muning dibawah pimpinan Aling yang telah menobatkan dirinya menjadi sultan
dengan nama Penembahan Muda. Anaknya yang bernama Sambang diangkat dan bergelar
Sultan Kuning. Anak perempuannya Saranti diberi gelar Puteri Junjung Buih. Nama
kampungnya diganti menjadi Tambai Makkah.
Di daerah Batang Hamandit, Gunung Madang, dipimpin Tumenggung Antaluddin.
Di Tanah Laut dan Hulu Sungai dipimpin oleh Demang Lehman.
Di Kapuas Kahayan dibawah pimpinan Tumenggung Surapati.
Gerakan-gerakan rakyat itu pada hakekatnya menghendaki agar yang bertahta di
Kesultanan Banjar adalah Pangeran Hidayatullah. Sebenarnya Pangeran
Hidayatullah yang berhak menjadi Sultan, sesuai pula dengan harapan rakyat
Banjar, yang dipekuat pula dengan Surat Wasiat Sultan Adam Alwasyiqubillah. Isi
Surat Wasiat itu sebagai berikut:
Sultan Adam memberi kepada Pangeran Hidayat gelar Sultan Hidayatullah
Khalilullah.
Mengangkat menjadi penguasa agama serta mewariskan semua tanah kesultanan,
semua alat senjata kesultanan, alat pusaka dan padang-padang perburuan.
Apabila Sultan Adam wafat, maka penggantinya ialah Pangean Hidayat, dan
hendaknya memerintah rakyat dengan penuh keadilan dan mengikuti perintah agama.
Memerintahkan kepada seluruh rakyat Kesultanan Banjar supaya mentaati hal ini
dan jika perlu mempertahankan dengan kekerasan.
Memerintahkan kepada semua pangeran, menteri, orang besar kesultanan, ulama dan
tetuha kampung supaya mematuhi ketentuan ini, apabila dilanggar Sultan Adam
menjatuhkan kutuknya.
Pada mulanya gerakan-gerakan itu berdiri sendiri-sendiri. Di berbagai tempat,
di kampung-kampung, mereka mempengaruhi rakyat dan di sana-sini mengganggu
ketenteraman. Baru kemudian gerakan-gerakan itu dapat dipersatukan oleh
Pangeran Antasari yang waktu itu sudah berusia 50 tahun.
Sampai saat itu nama Pangeran Antasari hampir-hampir tidak dikenal. Ia tidak
memiliki kekayaan yang memungkinkan untuk hidup layak sebagai seorang pangeran,
sedang ia merasa prihatin menyaksikan Kesultanan Banjar yang recuh dan semakin
besarnya pengaruh Belanda di Banua Banjar. Terbuka kesempatan bagi Pangeran
Antasari ketika di pedalaman Banjar timbul gerakan-gerakan rakyat
Pangeran Hidayatullah dalam kedudukannya sebagai mangkubumi mengutus 3 orang
untuk menyelidiki gerakan-gerakan rakyat yang sedang bergolak. Salah seorang
dari utusan itu adalah pamannya sendiri, yaitu Pangeran Antasari. Maka
terbukalah kesempatan bagi Pangeran Antasari untuk menghubungi
pemimpin-pemimpin gerakan rakyat yang siap mengadakan perlawanan, bahkan ia
berhasil memperoleh kepercayaan rakyat dan dipilih sebagai pemimpin perlawanan.
Cita-cita mereka memang sesuai dengan sikap dan pendirian Antasari.
Oleh karena itu ia dan
keluarganya diam-diam meninggalkan kediamannya di Antasan Senor Martapura dan
menyatukan diri dengan kaum perlawanan di pedalaman. Puteranya yang bernama
Gusti Penembahan Muhammad Said, dikawinkan dengan Saranti, puteri Penembahan
Aling, tokoh yang berpengaruh di kalangan mereka.
Pangeran Antasari
berhasil mempersatukan gerakan rakyat yang dipimpin oleh Penembahan Aling di
Muning dengan gerakan rakyat yang dipimpin oleh Tumenggung Jalil di Benua Lima.
Wilayah perlawanan bertambah luas, meliputi Tanah Dusun Atas, Tabanio dan Kuala
Kapuas, serta Tanah Bumbu. Semuanya menjadi satu front di bawah pimpinan
Pangeran Antasari untuk menentang Belanda dan kekuasaannya yang menggunakan
Sultan Tamjidillah.
Pengaruh Pangeran Antasari menjadi makin luas, juga di kalangan alim ulama
Banjar yang sebagian besar bersedia ikut menempuh jalan kekerasan. Pada
permulaannya ia berhasil menghimpun sebanyak 6.000 orang lasykar.
Serangan pertama dilakukan pada tanggal 28 April 1859. Dengan serangan itu maka
meletuslah Perang Banjar. Pagi-pagi buta 300 orang lasykar yang dipimpin
langsung oleh Pangeran Antasari menyerang tambang batu bara dan benteng Belanda
di Pengaron. Pertempuran berlangsung hingga pukul 14.00 siang. Baik pihak
Pangeran Antasari mapun pihak Belanda berjatuhan korban.
Pengaron dikepung rakyat lasykar Antasari. Komandan Beeckman sangat hawatir
karena persediaan makanan sudah menipis. Ia segera mengirim kurir, tetapi kurir
itu dapat dibunuh oleh lasykar. Keadaan di luar tambang dan benteng Belanda di
Pengaron dapat dikuasai lasykar Pangeran Antasari. Dua puluh orang bersenjata
parang menyelinap ke dalam pos dan benteng tambang batu bara Oranje Nassau
Pengaron, tetapi diketahui musuh, dan semuanya gugur terbunuh. Dokter Belanda
di dalam lokasi itu diamuk dan dibunuh oleh orang hukuman . Pangeran Antasari
sebagai pimpinan lasykar perlawanan mengirim surat kepada Beeckman agar ia
menyerah.
Dalam keadaan semacam ini pemerintah Belanda menganggap berbahaya terhadap
pangeran Antasari sehingga dianggap pemberontak yang dikenai premie atau harga
kepala 10.000 gulden untuk menangkapnya hidup atau mati. Demikian pula terhadap
Pangeran Hidayatullah yang kemudian menggabung dengan Pangeran Antasari. Hal
ini dilakukan Belanda setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda pada
tanggal 11 Juni 1860.
Di dalam bulan suci Ramadhan 1278 H (Maret 1862) para alim ulama dan pemimpin
rakyat di Barito, Sihong, Teweh serta kepala-kepala suku Dayak Kapuas Kahayan
berkumpul di Dusun Hulu untuk menobatkan Pangeran Antasari menjadi Penembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin, pemimpin tertinggi agama. Dengan demikian, dalam
pengertian rakyat, kedaulatan daerah Banjar dipegang oleh Pangeran Antasari.
Kekuasaan dan kedaulatan dilaksanakan sesuai dengan keadaan perang yang masih
berkobar.
Belanda masih berusaha untuk berdamai dengan Pangeran Antasari dan bersedia
memberi pengampunan. Tetapi Pangeran Antasari sadar, bahwa itu hanya tipu
muslihat Belanda saja.
Pangeran Antasari menolak ajakan Belanda dengan mengirim surat kepada
gezaghebber (Kepala Daerah/penguasa) di Marabahan (Bakumpai). Isinya ialah
penolakan pengampunan yang diajukan Belanda kepada Pangeran Antasari. Ia tidak
percaya kepada janji-janji yang diberikan Belanda dan menganggapnya sebagai
tipu muslihat belaka.
Pangeran Antasari sebagai Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin hanya
memberi satu jaminan untuk perdamaian, yaitu diserahkannya Kesultanan
Banjarmasin, sedangkan Belanda hanya diizinkan untuk menarik pajak. Kalau
syarat tersebut tidak dipenuhi, maka Pangeran Antasari memilh jalan meneruskan
peperangan.
Ternyata Pangeran Antasari
benar-benar menunjukkan jiwa kepahlawanan. Beliau selalu berkata. “Haram
Manyarah, Waja Sampai Kaputing”, maksudnya haram hukumnya menyerah kepada
musuh, tak tergoyahkan, ulet, tabah sampai akhir. Perkataan ini diamanatkan
pula kepada keturunan beliau.
Waktu itu Pangean Antasari sudah tidak muda lagi, usianya sudah lebih lima
puluh tahun. Dengan penuh kesadaran dan keyakinan ia memimpin gerakan melawan
pemerintah Belanda di Kalimantan Selatan dan Tengah. Ia mempunyai kekuatan
pribadi dan keluhuran budi yang menjadi tenaga pendorong mengapa ia hidup
mempertahankan pendiriannya tanpa pernah mundur setapakpun untuk berkompromi
dengan lawan sampai akhir hayatnya.
Pangeran Antasari telah membuktikan memiliki keahlian dalam siasat perang
gerilya serta mampu memimpin pasukan di daerah-daerah yang luas lagi sukar
didiami manusia. Ia adalah pemimpin yang ulet, tabah dan berwibawa, serta
memiliki kekuatan batin untuk mengikat para pengikutnya kepada tujuan yang mulia.
Pangeran Antasari seorang pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri. Pada
saat para bangsawan yang berkuasa dalam Kesultanan Banjarmasin secara
sistemetik dikuasai dan dipecah belah Belanda dengan memanfaatkan situasi dan
kondisi Kesultanan Banjar itu sendiri., maka Pangeran Antasari mengangkat
senjata dengan semboyannya yang pantang mundur itu.
Sementra itu wabah
penyakit melanda daerah pedalaman . Pangeran Antasari jatuh sakit. Dalam
keadaan sakit parah ia diangkut ke pegunungan Dusun Hulu. Akhirnya wafat di
Bayan Pegog, Hulu Teweh, pada tanggal 11 Oktober 1862. Kemudian di masa
Indonesia merdeka, kerangka tulang belulang beliau dipindahkan dan dimakamkan
kembali di Kompleks Makam Pahlawan Perang Banjar, jalan Masdjid Jami di
Banjarmasin, pada tanggal 11 November 1958. Sekarang makamnya diberi nama Makam
Pahlawan Nasional Pangeran Antasari.
Dengan wafatnya Pangeran Antasari rakyat kehilangan pemimpin yang berani,
cerdas, tangguh, cerdik, dan alim. Meskipun demikian semangat Antasari tetap
berkobar-kobar. Rakyat Banjar tidak tenggelam kesedihannya, kedudukan Pangeran
Antasari segera digantikan oleh putra-putranya, yaitu Pangeran Muhammad Seman
menjadi sultan. Sementara saudara Muhammad Seman, yaitu Pangeran Panembahan
Muhammad Said sebagai mangkubumi.
Pusat pemerintahan berpindah-pindah karena senantiasa dikejar-kejar Belanda.
Semula berpusat di Dusun Hulu dengan kedudukan di Muara Teweh, kemudian di
Kapuas Kahayan dengan pertahanannya di dekat Sungai Patangan. Paling akhir di
Baras Kuning di mulut Sungai Manawing.
Tidak hanya keturunan Pangeran Antasari yang melanjutkan perlawanan, tetapi
juga rakyat Banjar, seperti Tumenggung Surapati sampai meninggal tidak pernah
menyerahkan diri kepada Belanda. Demang Lehman yang tertangkap melalui
penghianatan tahun 1864, air mukanya tak berubah dan urat muka tak bergerak
menaiki tiang gantungan, yang menunjukkan ketabahan hati. Selesai digantung
kepalanya di potong Belanda. Jalil gugur karena luka dalam pertempuran.
Kuburnya ditemukan Belanda dan dibongkar sedang kepalanya di potong. Penghulu
Rasyid dari Benua Lawas, pemimpin golonagn agama, sangat terkenal dengan
gerakan “Baratib Baamal”, bertempur dengan gagah berani. Pada tahun 1864
menderita luka-luka dalam pertempuran, lalu berusaha menyembunyikan diri. Namun
kaki tangan Belanda selalu membuntutinya. Penghianat tersebut dapat
membunuhnya, kemudian memotong lehernya dan menyerahkan kepala Penghulu Rasyid
kepada Belanda untuk mendapakan hadiah. Nasib yang sama juga dialami oleh Haji
Buyasin, pejuang yang bersama-sama Demang Lehman melawan penjajah Belanda di
Tanah Laut. Pada tahun 1866 beliau dibunuh oleh seorang kaki tangan Belanda,
dan mayatnya diserahkan kepada Belanda di Banjarmasin.
Demikian pula pejuang-pejuang lainnya seperti Tumenggng Antaluddin, Tumenggung
Cakrawati, Bukhari dan Kawan-kawan. Banyak sekali kalau dibeberkan satu
persatu. Tumenggung Cakrawati gugur, lalu digantikan oleh isterinya yang
memakai namanya. Bukhari dan kawan-kawan gugur melawan Belanda dalam Amuk
Hantarukung, di ujung abad ke 19.
Pada tahun 1905 tanggal 1 Januari Sultan Muhammad Seman gugur. Sesudah itu
boleh dikatakan pelawanan secara fisik tidak begitu memusingkan Belanda lagi.
Perlawanan yang dilakukan oleh Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad sebagai
keturunan langsung Pangeran Antasari tidak berhasil menguasai keadaan. Perang
Banjar yang apinya mulai dinyalakan Pangeran Antasari tanggal 28 April 1859
boleh dikatakan telah padam. Meskipun demikian semangat kejuangan yang
diwariskan Pangeran Antasari, beserta para pejuang lainnya terus menyala,
selalu mendorong langkah perjuangan hingga Indonesia Merdeka, memelihara serta
melestarikannya melalui pembangunan nasional. (Sumber: Naskah Peringatan
Wafatnya Pahlawan Nasional Pangeran Antasari tgl. 11 Oktober 1985).
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar